So, as I mentioned in the previous post, I did not expect myself to fall into what I call as the black zone again. And it was even more surprising because I've been there before. Ideally, I should've read the signs, the symptoms.

After recent conversations with friends and periodic self reflection, I found out that I wasn't fully aware on the importance of listing and writing down my symptoms. In hope that I would never enter that terrible and painful zone ever again, I unconsciously deleted the related memories, including the symptoms.

Now I accept that healing is a process. And the possibility of me falling apart again is just inevitable. So rather than denying, I'm now trying to write down my symptoms (and later on: what to do if the symptoms came up). This note will function as a self-reminder, so that whenever I feel the symptoms, I could then jump to the first-aid-plan.

The Zones
In general, I divide my mental health state into 4 zones. Green, means I'm totally okay. Yellow, means light stress. Red means dangerous, very stressful. And black, let's just simplify it as suicidal.
For now I will only write the red and black symptoms.

Red Zone

• Numbness. Can't feel anything
• Constant flashback on bad memories. Very difficult to get rid of them. Fulfilling my head, all the time
• Highly productive. Work work work work work work work
• ...but refusing to do things that I love
• Avoiding people in general, except for work
• Irritable. In details: very nosy, pessimistic, sees no hope in everything, get angry easily, cold, impatient
• Excessive or lack of eating
• Almost never sleep. Very difficult to sleep. And again: work work work work
• Excessive drinking, alcoholic

Black Zone

• Continuous sadness and anxiety
• Constant flashback
• hopeless
• crying all the time, keep questioning why and why and why
• can barely get up
• Unable to do almost anything
• Almost total social isolation
• very difficult to remember things, except the bad memories. 
• constant useless feeling
• constant suicidal / death thoughts. 
• Nausea
• blank
• sleep endlessly and hoping to never wake up, but never feel fresh after sleep. High in number, very lacking in quality

27 Mei 2019. Hari keempat aku bisa beraktivitas 'normal' lagi setelah hampir sebulan di zona hitam. Yes, one thing and another brought me back to that fuckin zone. Zona lumpuh total, kehilangan kemampuan beraktivitas sama sekali.

Aku tidak menduga akan masuk dalam zona itu lagi. Maka, saat itu terjadi, kepalaku dipenuhi amarah dan kecewa. Khususnya pada diri sendiri. I just couldn't stop questioning myself, kenapa jatuh sedalam ini lagi. Dan ketika mendapati bahwa situasi tidak kunjung membaik setelah beberapa hari (malah makin parah), aku sangat kecewa pada ketidakmampuanku untuk bangkit. Lemah dan payah! That was how I labelled myself.

Waktu berlalu. Sabtu kemarin, aku memaksa diri keluar rumah, bertemu sahabatku R dan S. Susah payah, kusampaikan situasiku pada mereka. Lengkap dengan kekesalanku pada diri sendiri. Yeah, it is never easy to tell people about this. Even after all this time, and even to my closest ones, those who understand my struggles best.

Kami sedikit bicara, lebih banyak bercanda. Keceriaan sore itu membuatku ingat pengalaman pertama jatuh ke zona hitam. Ah, sudah lebih dari setahun yang lalu ternyata.

"Eh, kapan sih aku mulai bisa beraktivitas?" tanyaku tiba-tiba ke mereka.

"Hmm, tahun lalu, ya. Agustus? September?" mereka saling membantu mengingat.

OMFG.

Agustus.

September - Oktober - November - Desember - Januari - Februari - Maret - April.

Delapan bulan. Dua ratus empat puluh hari.


"Wow, sudah delapan bulan rupanya! Selamat ya Tam, you're making progress!" ucap R dan S. Sumringah. Begitu juga aku.

Wow. Wow. Wow. Benar juga! Sudah selama itu aku bertahan. Mengelola. Delapan bulan tanpa zona hitam.

And all of sudden, I feel so damn proud of myself.

Hahaha, sepertinya aku benar-benar harus belajar berhenti menghakimi diri sendiri, deh.


Your baby steps have brought you this far, Tama. So, congratulation.
Keep going, darling. Just keep going. Enjoy and celebrate every process. You'll be there, for sure.

(Lanjutan dari bagian 1)

"You know what, aku berencana membuat tattoo lagi."

Kini gantian aku yang berkisah pada sahabatku, setelah mengambil seporsi nasi tambahan.

"Bulan sabit, tattooku berikutnya akan bergambar bulan sabit."

"Aku tahu betul yang kamu rasa. Karena aku pun begitu."

"Kita ini, seperti bulan sabit. Hanya dalam sekali lihat, orang langsung terpukau pada cahayanya yang indah."

"Padahal kita bulan sabit. Yang hanya utuh karena ia punya sisi terang dan sisi gelap. Namun, orang hanya mau melihat yang terang. Mereka tidak mau tahu soal bagian lainnya."

"Kamu ingat? Sherin pernah bertanya padaku. Do you really love me? Or do you actually fall in love in your idea of me? Kupikir, begitulah orang memperlakukan kita. Mereka memuja bayangan dan ide mereka tentang kita. Bukan kita yang sebenar-benarnya."

"Seperti pada bulan sabit, orang melihat apa yang ingin mereka lihat saja. Yang terang."

"Mereka menyangkal sisi kita yang lain. Tak selalu gelap, sebenarnya. Hanya saja, tak sesuai dengan gambaran mereka tentang kita. Dan penyangkalan, berubah menjadi tuntutan. Seringkali cercaan."

"Dan yang sampai saat ini masih sangat mengangguku adalah, mereka meninggalkan. Khususnya saat mereka benar-benar melihat sisi 'gelap'-ku. Aku yang lelah. Aku yang sedih. Aku yang menangis. Aku, yang tak sekuat harapan mereka."

"Hehehe.. Padahal kalau dipikir-pikir, hanya pada segelintir orang aku menunjukkan sisi itu. Apalagi dulu, ya. Dan sebenarnya, aku menunjukkan sisi itu karena memang sudah tidak kuat. Sudah bendera putih. Aku, butuh bantuan. Tanganku menggapai minta bantuan. Pada sedikit orang yang kupercaya. Yang demi mereka, akan kulakukan hampir segalanya."

"Tapi ya begitu. Tidak sedikit yang memilih pergi."

"Karena aku tak lagi memenuhi ide mereka tentangku."

Kami tertawa bersama. Mengingat kawan demi kawan. Yang pergi, yang tinggal. Dan banyak hal lainnya. Tawa getir, tentu saja.

"Bagusnya, hari-hari ini aku jadi lebih tau harapanku, sih. Hanya tidak ingin ditinggalkan. Di saat sulit. Saat aku sedang tidak menjadi 'aku'. Terutama oleh mereka yang dekat denganku. Yang pada mereka, telah dan akan kulakukan hal yang sama. I would stay. No matter what."

Sahabatku tertawa.

"Okay, dalam hal ini kurasa kamu cenderung masokis, sih. Tetap bertahan meskipun berdarah-darah," katanya.

Aku pun turut tertawa. Apalagi setelah ia mengingatkanku pada beberapa hal yang ia anggap masokis itu. Entah terkait pasangan, teman, atau organisasi.

"Yah, itulah aku. Loyal. Aku selalu siap berdarah sama-sama. Bersama lho ya, bukan sendirian," jawabku, yang kami sambut dengan tawa lagi.

"Sudah saatnya aku benar-benar memahami batasku sendiri, mungkin ya. Dan mempraktekkannya. Hehehe.."


Ia kemudian merespon,

"Selain itu, mungkin kita juga perlu belajar menyampaikan kebutuhan itu. Seperti yang kamu tahu, aku berpotensi melakukan kekerasan dalam keadaan yang sangat tertekan. Karenanya dulu aku memberi tahu kamu, dan berpesan: hentikan, jika aku mulai melakukan itu. Stop me, jika aku sudah tidak menjadi 'aku'."

"Sayangnya saat itu terjadi, tidak ada yang menghentikanku," tambahnya lagi. Mengingatkan bahwa aku juga pernah luput.

Makanan sudah habis. Aku menenggak gelas es teh kedua.

"Kadang pengen gitu rasanya jadi bad boy."

"Ya tapi itu bukan kamu, kan? Mana bisa."

"Ya iya. Sebenarnya itu ungkapan aja sih. Bukan mauku juga kan, langsung dianggap nice boy dalam sekali lihat. Dan sebenernya gak ada yang salah juga dengan being nice. Tapi kalo itu bikin orang jadi pasang ekspektasi tinggi, kan capek. Sementara bad boy, dimaklumi mulu. Didampingi. Gak ditinggal."

"Heroisme, huh? Orang memilih bersama bad boy dengan harapan bisa 'membantu', bahkan 'mengubah' mereka jadi lebih baik."

"Hahaha. Apapun alasannya, pokoknya mereka gak ditinggal gara-gara sisi bad-nya. Huahahahaha."

"It sucks when people keep forgetting that even the nice people like us, are just human, after all..."

Hari ini ngobrol dengan kawan baik yang baru saja merampungkan ujian tesisnya. Selesai ujian, kami merayakannya dengan menikmati penyetan Mas Kobis. Dia gak ikut makan sih, soalnya puasa. Hahahaha~

Dia duduk duluan, aku menyusul dengan nasi segunung plus sepiring penuh lauk. Baru saja pantatku menyentuh kursi, dia berujar,

"Kamu tahu, mudah bagiku untuk mendapat kesan bahwa aku ini pintar. Ini privilege (keistimewaan), sih. Aku cepat memahami atau menangkap hal-hal yang ternyata tidak mudah dipahami orang lain. Misal pelajaran di sekolah. Tapi lama-lama, orang jadi take it for granted."

*take it for granted artinya menerima begitu saja, bahkan lebih dekat ke arah menyia-nyiakan atau menganggap sepele

Aku menyimak, menatap wajahnya yang menyiratkan entah sedih, entah kecewa, mungkin juga keduanya.

"Aku ingat betul, waktu aku SD, temanku dapat nilai tujuh atau delapan di matematika. Guruku memujinya, bilang bahwa ia hebat bisa mencapai nilai itu. Sementara aku yang mendapat nilai sembilan, guruku mempertanyakan setengah memarahi, kok bisa jawabanku salah satu. Dan itu membuatku kesal. Mengapa aku diperlakukan berbeda?"

"Aku itu kaget waktu tau ada banyak laki-laki yang pergi ke dukun untuk minta aji-aji wibawa. Ya Tuhan, ada orang yang butuh ke dukun hanya untuk mendapatkan respect dari orang lain! Sementara aku, aku selalu bisa memenangkan respect orang tanpa upaya apapun. Sebagaimana orang juga langsung menganggapku pintar. Ini semakin meyakinkan kalau aku punya privilege. Aku tidak perlu mengeluarkan upaya besar, bahkan kadang tanpa upaya sedikitpun, untuk memenangkan respect orang, juga untuk memahami berbagai hal. Sementara orang lain butuh upaya keras untuk itu."

"Tapi ya begitu. Orang jadi take it for granted." 

Sesaat kami terdiam. Aku pun bertanya, apa yang membuatnya tiba-tiba membahas ini.

"Aku kesal saja waktu dosen-dosenku tadi bilang, ah kamu pasti bisa."

"Hanya karena aku sanggup mengerjakan tugas-tugas dengan sangat baik, bukan berarti kemudian aku bisa melakukan segala hal dengan semudah itu. Termasuk tesis ini."

"Bisa jadi ini bukan tentang kapasitas. Bicara kapasitas untuk mengerjakannya, aku yakin aku punya. Tapi mengerjakan sesuatu yang bukan bidangku, sesuatu yang aku merasa tidak percaya diri atasnya, yang tidak kukuasai sepenuhnya, tentu tidak mudah."

"Tapi orang meremehkan itu. Dengan mudah berkata bahwa aku pasti bisa, hanya karena aku bisa mengerjakan yang lainnya. Itu mengesalkan." 

"Privilege ini, membuat orang tidak berhenti menuntut. Mereka jadi memasang ekspektasi yang sangat tinggi terhadapku."


Aku manggut-manggut.

Pembicaraan kami melompat sebentar ke kenangan bersama, saat kami berkarya di sebuah institusi yang sama beberapa tahun lalu. Kebetulan, institusi tersebut bisa dibilang hampir vakum sekarang. Produktifitas dan fungsinya, jauh tertinggal dibanding saat kami aktif mengelolanya. Namun, respon orang terhadap kinerja kedua generasi ini juga jauh berbeda. Sekarang, relatif tak ada protes dari teman-teman kecuali bisik-bisik kecil. Sementara sebelumnya, tak peduli seproduktif dan sebaik apapun kerja kami, orang tidak pernah puas. Hanya ada kurang, kurang, dan kurang.

"Bahkan untuk mengakui bahwa kita lelah pun, salah," kata sahabatku.

(bersambung ke bagian 2)

Rest if you must, but don't you quit.

Begitu kata Ana berkali-kali. Bukan pada saya, melainkan pada teman-teman lain yang kala itu sedang melalui masa-masa susah dan sering nangkring di 'sarang' (demikian kami menyebut kontrakan mungil kami). Dan terlebih: pada dirinya sendiri, yang saat itu juga sedang berusaha bangkit dari masa yang terbilang sangat sulit.